
Paperkaltim.id, Jakarta- PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada 1 Maret 2025. Akibat kebangkrutan ini, Sritex melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang berdampak pada ribuan karyawan di berbagai unit operasionalnya.
Keputusan pailit ini menyusul ketidakmampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban finansialnya, termasuk utang yang mencapai triliunan rupiah kepada kreditur. Sejumlah faktor, seperti menurunnya permintaan pasar, kesulitan ekspor, serta meningkatnya biaya produksi akibat kenaikan harga bahan baku dan energi, turut memperburuk kondisi keuangan perusahaan.
Ribuan Pekerja Kehilangan Pekerjaan
Berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan, total karyawan yang terkena PHK di bawah naungan Sritex Group mencapai 10.665 orang.
PT Sritex di Sukoharjo: 8.504 buruh terkena PHK
PT Primayudha Mandirijaya di Boyolali: 956 buruh terkena PHK
PT Sinar Panja Jaya di Semarang: 40 buruh terkena PHK
PT Bitratex di Semarang: 104 buruh terkena PHK
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Tengah, Ahmad Aziz, mengonfirmasi bahwa PHK massal ini sudah terjadi secara bertahap sejak awal tahun 2025.
"Proses PHK sudah berlangsung sejak Januari 2025, namun semakin besar setelah status pailit resmi ditetapkan. Saat ini, banyak buruh yang masih menunggu kepastian mengenai pembayaran hak-hak mereka," ujar Ahmad.
Hak Pekerja Masih Belum Jelas
Salah satu dampak terbesar dari kebangkrutan ini adalah ketidakpastian pembayaran hak pekerja, termasuk pesangon, tunjangan hari raya (THR), dan gaji terakhir yang belum dibayarkan. Para pekerja berharap ada kepastian mengenai pencairan dana yang masih tertahan.
Menurut Aziz, pihak kurator yang menangani aset Sritex akan memastikan bahwa dana dari penjualan aset digunakan untuk membayar hak-hak buruh.
"Kurator sedang menginventarisasi aset perusahaan. Dana dari penjualan aset akan diprioritaskan untuk membayar hak-hak pekerja," jelasnya.
Namun, proses ini diperkirakan memakan waktu lama, mengingat besarnya utang yang harus diselesaikan perusahaan kepada berbagai pihak.
Pemerintah Siapkan Lapangan Kerja Baru
Sebagai langkah mitigasi dampak PHK massal ini, pemerintah daerah Sukoharjo dan Jawa Tengah mulai berkoordinasi dengan perusahaan lain untuk membuka peluang kerja bagi eks pekerja Sritex.
"Kami sudah berkomunikasi dengan beberapa perusahaan di sekitar Sukoharjo dan Solo Raya agar mereka bisa menampung pekerja yang kehilangan pekerjaan akibat PHK ini," ungkap Bupati Sukoharjo, Etik Suryani.
Beberapa perusahaan manufaktur dikabarkan siap menerima eks pekerja Sritex, terutama yang memiliki keterampilan di bidang tekstil dan garmen. Selain itu, pemerintah juga berencana memberikan pelatihan keterampilan bagi para pekerja terdampak agar mereka bisa beralih ke sektor lain.
Reaksi Karyawan: Kesedihan dan Ketidakpastian
Banyak pekerja yang telah bekerja puluhan tahun di Sritex merasa terpukul dengan keputusan ini. Siti Aminah, seorang buruh yang telah bekerja selama 25 tahun di pabrik Sritex Sukoharjo, mengaku kecewa karena harus kehilangan pekerjaannya tanpa kepastian pesangon.
"Saya sudah bekerja di sini sejak muda. Sekarang, di usia 50 tahun, saya harus mencari pekerjaan baru. Bagaimana saya bisa bersaing dengan tenaga kerja yang lebih muda?" keluh Siti dengan mata berkaca-kaca.
Keluhan serupa disampaikan Sugeng (47 tahun), yang mengaku tidak tahu harus berbuat apa setelah terkena PHK.
"Anak saya masih sekolah, saya masih punya cicilan rumah. Saya hanya berharap perusahaan tetap membayar hak-hak kami," ujarnya.
Tanggapan Serikat Pekerja dan Aktivis
Serikat pekerja dan aktivis ketenagakerjaan menyoroti kebangkrutan Sritex sebagai dampak dari lemahnya manajemen perusahaan dalam mengantisipasi tantangan industri tekstil global.
Ketua Serikat Pekerja Tekstil Indonesia, Rudi Hartono, mendesak pemerintah turun tangan untuk memastikan hak-hak buruh dipenuhi.
"Kami meminta pemerintah dan kurator memastikan pembayaran pesangon dan gaji karyawan yang masih tertunda. Jangan sampai buruh menjadi korban dari salah urus perusahaan," tegasnya.
Selain itu, sejumlah aktivis menilai bahwa kebijakan perdagangan bebas dan masuknya produk tekstil impor dengan harga murah turut memperburuk kondisi industri tekstil dalam negeri.
Langkah Hukum dan Investigasi
Kebangkrutan Sritex juga menarik perhatian Kejaksaan Agung. Beberapa pihak menduga adanya dugaan kesalahan manajemen yang berkontribusi pada jatuhnya perusahaan.
Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Ardiansyah, mengatakan bahwa pihaknya akan menyelidiki apakah ada dugaan praktik penyimpangan dalam pengelolaan keuangan Sritex.
"Kami akan melihat apakah ada indikasi pelanggaran hukum dalam kebangkrutan ini. Jika ditemukan unsur pidana, maka akan ada langkah hukum lebih lanjut," ungkapnya.
Sementara itu, pihak manajemen Sritex belum memberikan komentar resmi terkait perkembangan ini.
Masa Depan Sritex dan Industri Tekstil Nasional
Kebangkrutan Sritex menjadi pukulan besar bagi industri tekstil Indonesia. Sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara, Sritex selama ini menjadi tulang punggung industri manufaktur di Jawa Tengah.
Ekonom dari Universitas Indonesia, Dr. Arief Budiman, menyebutkan bahwa kebangkrutan Sritex bisa menjadi sinyal bagi pemerintah untuk lebih serius melindungi industri tekstil dalam negeri.
"Pemerintah perlu menerapkan kebijakan yang lebih ketat terkait impor tekstil dan memberikan insentif bagi industri dalam negeri agar tetap kompetitif," ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga diharapkan dapat mempercepat proses bantuan bagi pekerja terdampak, baik dalam bentuk pelatihan kerja maupun insentif finansial sementara.