
Paperkaltim.id, Jakarta â Gangguan Kepribadian Narsistik atau Narcissistic Personality Disorder (NPD) kian menjadi perhatian di kalangan profesional kesehatan mental. Meski sering kali disalahartikan sebagai sekadar perilaku sombong atau egois, NPD merupakan kondisi psikologis serius yang dapat berdampak pada relasi sosial, pekerjaan, dan kehidupan pribadi penderitanya.
NPD tergolong dalam gangguan kepribadian tipe B menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5) yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association. Individu dengan gangguan ini menunjukkan pola pikir dan perilaku yang berpusat pada diri sendiri secara ekstrem, merasa dirinya lebih unggul dibanding orang lain, dan seringkali memiliki kebutuhan yang besar akan pujian serta pengakuan.
"Masalah utamanya adalah kurangnya empati dan ketidakmampuan membentuk hubungan yang sehat dan seimbang dengan orang lain," ujar dr. Ika Putri, Sp.KJ, psikiater dari RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, saat ditemui dalam seminar kesehatan jiwa di Jakarta, Selasa (22/4/2025).
Menurutnya, penderita NPD dapat terlihat sangat percaya diri, namun di balik itu mereka sering kali menyimpan perasaan rapuh dan harga diri yang rentan terguncang. Reaksi defensif yang berlebihan, kemarahan tak terduga, serta kecenderungan memanipulasi orang lain demi kepentingan pribadi merupakan gejala umum yang kerap muncul.
Gejala dan Dampaknya dalam Kehidupan Sehari-hari
Beberapa gejala NPD yang menonjol meliputi rasa superioritas berlebihan, fantasi akan kesuksesan tanpa batas, ekspektasi akan perlakuan istimewa, serta kesulitan menerima kritik. Gangguan ini sering kali tidak disadari oleh penderitanya karena mereka merasa bahwa masalahnya ada pada orang lain, bukan pada diri sendiri.
Dalam lingkungan kerja, penderita NPD bisa tampak sebagai pemimpin karismatik namun sering membuat rekan kerja merasa tidak dihargai. Dalam hubungan pribadi, mereka bisa sangat memikat di awal, namun kemudian cenderung bersikap manipulatif dan tidak peduli terhadap perasaan pasangan.
"Ketika seseorang dengan NPD merasa tidak dipuji atau ditantang, mereka bisa menjadi sangat marah, bahkan melakukan gaslighting atau memutarbalikkan fakta untuk mempertahankan citra dirinya," jelas dr. Ika.
Meningkatnya Kesadaran dan Pentingnya Diagnosis Dini
Meskipun belum ada data pasti mengenai prevalensi NPD di Indonesia, secara global gangguan ini diperkirakan memengaruhi sekitar 1% dari populasi. Di era media sosial saat ini, karakteristik narsistik seperti pencarian validasi dan pengagungan diri semakin marak, sehingga penting bagi masyarakat untuk memahami perbedaannya antara narsistik normal dan yang bersifat patologis.
Psikolog klinis dari Universitas Indonesia, Rani Astuti, M.Psi, menambahkan bahwa kesadaran terhadap kesehatan mental di Indonesia terus meningkat, namun stigma terhadap gangguan kepribadian masih tinggi. Ia mendorong agar individu yang merasa memiliki masalah dalam hubungan sosial, atau menerima keluhan dari orang sekitar, tidak ragu untuk melakukan evaluasi psikologis.
"NPD bukan akhir dari segalanya. Dengan terapi psikoterapi jangka panjang seperti terapi perilaku dialektik (DBT) atau terapi psikodinamik, pasien bisa belajar memahami dirinya, membangun empati, dan mengelola perilaku manipulatif," ucap Rani.
Masyarakat Diminta Lebih Peka dan Tidak Melabeli
Pakar kesehatan jiwa mengingatkan masyarakat agar tidak sembarangan melabeli seseorang sebagai "narsistik" hanya karena menunjukkan kepercayaan diri tinggi. Diagnosis NPD hanya bisa ditegakkan oleh profesional melalui evaluasi klinis yang mendalam.
"Alih-alih menghakimi, kita sebaiknya membuka ruang dialog dan membantu mereka yang menunjukkan gejala untuk mencari bantuan," tutup dr. Ika.
Dengan pemahaman yang lebih baik tentang NPD, diharapkan masyarakat bisa lebih peka terhadap kondisi kejiwaan di sekitarnya serta turut menciptakan lingkungan sosial yang sehat, empatik, dan mendukung proses pemulihan bagi para penderita gangguan kepribadian.